MANADO – Tahun 2022 sebentar lagi berakhir dan kita akan memasuki tahun 2023. Lantas, bagaimana proyeksi ekonomi Sulawesi Utara (Sulut) di tahun depan?.

Tahun 2022 Perekonomian Indonesia terus menjunjukkan tren positif berdasarkan data BPS sampai dengan kuartal ketiga PE mencapai 5,72 persen dan untuk sulawesi utara mengalami PE sebesar 6,62%, dimana sebarannya semakin merata walau tetap didominasi di Pulau Jawa yang berkontribusi sebesar 56,3% dan 5,76% ini adalah hal yang baik yang menunjukkan kuatnya recovery dari PI namun juga kita semua paham dari isu2 yang muncul terkait dgn geopolitik dunia yg belum stabil terkait perang Rusia Ukraina yang menyebabkan distrupsi dari sisi suply yang tentunya mendorong kenaikan2 harga2 komoditas dan energi global, minyak, gas alam dan batubara CPO dan gandum serta gandum, dari sisi moneter the fed masih akan menaikan secara gradual Fed fund rate untuk menahan laju inflasi di Amerika. Namun bukan hanya AS yang mengalami inflasi yang tinggi karena ada Inggris, Turki dan beberapa negara maju lainnya, hal2 tersebut menjadi basis turunnya proyeksi dunia, Kata Ketua ISEI Cabang Manado Joy Elly Tulung dalam sambutan pembukaan Diskusi Akhir tahun 2022

Survei terbaru dari Reuters menyebutkan ‘penderitaan’ yang lebih besar bisa saja terjadi. Sebabnya, bank sentral Amerika Serikat (AS) yang semakin agresif menaikkan suku bunga. Survei tersebut The Fed akan semakin agresif menaikkan suku bunga, dan ‘penderitaan’ yang lebih besar akan datang.

“Bank Indonesia memprakirakan perekonomian daerah masih akan berada pada trajektori perbaikan,” kata Kepala Perwakilan BI Sulut, Andry Prasmuko dalam Diskusi Akhir Tahun bersama Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Kamis (22/12/2022).

Perbaikan ini dipercaya akan didorong oleh akselerasi proses vaksinasi dan normalisasi aktivitas masyarakat, pelaksanaan event-event internasional dalam jangka pendek, konsolidasi sektor pariwisata.

“Serta peningkatan produktivitas dari Sub-Lapangan Usaha (LU) pertanian serta perbaikan kapasitas Sub-LU perikanan,” kata Andry dalam diskusi yang dilaksanakan di Kantor Perwakilan BI Sulut itu.

Meski demikian, masih terdapat risiko yang perlu diperhatikan dalam mendorong perekonomian maupun pengendalian inflasi di Sulawesi Utara, khususnya risiko terbatasnya penerimaan pada APBD seiring dengan pemulihan ekonomi.

“Maupun risiko inflasi akibat dampak kenaikan harga energi dan pangan secara global serta kenaikan biaya-biaya akibat penyesuaian harga BBM,” tutur Andry.

Sementara itu, ISEI Cabang Manado melalui Vecky A. J. Masinambouw memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 5,5-6 persen. 

“Beberapa catatan yang menjadi faktor penentu antara lain yaitu komitmen G20 terhadap penanggulangan krisis, digitalisasi, fasilitasi perbankan terhadap UMKM serta Green Economy memasuki tahapan implementasi,” tuturnya. 

Pengendalian inflasi yang terus menjadi perhatian pemerintah khususnya dari sisi ketahanan pangan, demikian juga pariwisata dan investasi diperkirakan tetap kondusif.

 

Kemudian beberapa terobosan penerbangan langsung dari Tiongkok, Jepang, Korea Selatan dan negara lainnya yang diinisiasi Gubernur Sulawesi Utara ditambah terobosan kerjasama baru dengan pihak luar negeri di bidang pariwisata dan investasi, diprakirakan mendorong perdagangan antar negara tetap kondusif. 

“Perkembangan transformasi digital dan manajemen kesehatan pandemi covid-19 semakin baik disertai efisiensi dan efektifitas anggaran diperkirakan makin meningkat menjadi faktor penting juga yang memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi,” paparnya.

Lebih lanjut, Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Sulawesi Utara, Ratih Hapsari Kusumawardani, menyampaikan perlunya perhatian terhadap tiga isu khusus yaitu ketahanan pangan, kondisi stunting, dan kemiskinan ekstrem. 

Ketahanan pangan perlu diperkuat melalui kerja sama antar daerah, hilirisasi dan adopsi konsep one region one product, mendorong pemanfaatan fasilitas pembiayaan skema subsidi resi gudang oleh petani serta menggeser paradigma peran masyarakat yang sebelumnya konsumen, bergeser menjadi produsen. 

“Dalam rangka mengatasi masalah stunting koordinasi dan harmonisasi lintas sektor menjadi penting, hal ini dapat diwujudkan melalui penetapan dan memperkuat tim percepatan penurunan stunting di level regional,” sebutnya. 

Terakhir, perumusan kebijakan yang tepat dan sesuai karakteristik perlu didorong guna mengatasi kondisi kemiskinan ekstrim yang terjadi di beberapa wilayah di Sulawesi Utara.

“Pemanfaatan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) BPS juga perlu didorong untuk menciptakan konvergensi antara program pemberdayaan dan program bantuan sosial,” ungkap Ratih.

Bank Indonesia, bersama Kemenkeu dan ISEI dalam diskusi akhir tahun ini menekankan bahwa optimisme pemulihan ekonomi harus diperkuat dengan tetap mewaspadai dampak dan ketidakpastian global, termasuk risiko stagflasi (moderasi ekonomi dan inflasi tinggi) bahkan resflasi (resesi ekonomi dan inflasi tinggi). 

Dalam upaya menjaga stabilitas ekonomi di tahun 2023, bauran kebijakan Bank Indonesia akan tetap menjadi bagian tidak terpisahkan dari bauran kebijakan nasional dalam memperkuat ketahanan, pemulihan, dan kebangkitan ekonomi Indonesia di tengah perlambatan ekonomi global dan risiko resesi di berbagai negara. 

Di tahun 2023, stance kebijakan moneter akan mengacu pada pro-stabilitas di mana pengendalian ekonomi difokuskan untuk menjaga stabilitas, sedangkan empat kebijakan Bank Indonesia lainnya.

Yaitu kebijakan makroprudensial, kebijakan sistem pembayaran, kebijakan pendalaman pasar uang, serta kebijakan ekonomi-keuangan yang inklusif dan hijau akan terus dilakukan. Namun, akan tetap berorientasi pada percepatan pemulihan ekonomi nasional